Suku Aru merupakan Suku yang mendiami kepulauan Aru di Maluku Tenggara. Kepulauan  yang sangat kaya akan potensi sumber daya alam dan juga sumber daya budaya tersebut terletak di Lepengan Sahul berdampingan dengan Papua dan Benua Australia, terdiri dari 5 pulau besar dikelilingi oleh 182 pulau kecil dengan total luas 8.563 km2.
Sejarah orang Aru dimulai dari Pulau Eno-Karang, berangkat dari sana orang Aru mulai menyebar ke seluruh kawasan Kepulaun Aru.  Secara sosial dan budaya Suku Aru termasuk rumpun Melanesia Pasifik dan terdiri dari 16 suku asli orang Aru dan berbagai suku lainnya dari Maluku, Jawa, dan Tionghoa. Oleh karena itu, orang Suku Aru tidak berbeda jauh dengan orang-orang yang mendiami kepulauan seperti Jawa, Sumatra, Kalimantan dan kepulauan lainya yang juga merupakan rumpun Melanesia Pasifik, Orang Aru  memiliki 14 bahasa lokal sebagai alat komunikasi mereka. Ragam bahasa lokal tersebut diantaranya Barakai, Batuley, Doubel Language, Karey, Koba, Kompane, Lola, Larong, Manombai, Mariri Language, Tarangan Timur, Tarangan Barat, dan Ujir.
Keragamaman suku dan bahasa Aru asli serta kekayaan sumber daya alam telah membuat kepulauan Aru begitu istimewa dibandingkan kepulauan yang lain yang ada di Maluku. Pada tahun 1600-an  bangsa Tionghoa menginjakan kaki di Kepulauan Aru untuk berniaga.  Tionghoa dengan orang Aru asli  membentuk komunitas masyarakat yang dinamakan Aru modern, dengan total populasi mencapai 71.393 jiwa, terjadi perpaduan yang baik dalam tatanan kehidupan sosial budaya, agama, ekonomi, dan pendidikan antara orang Aru asli dengan masyarakat pendatang. Selain itu kekayaan sumber daya alam di kepulauan Aru juga mengundang negara-negara lain untuk menguasainya seperti bangsa Belanda yang datang ke kepulauan Aru pada tahun 1623, disusul bangsa Inggis pada tahun 1857. Alfred R. Wallace seorang penjelajah dan peneliti yang diketahui berkebangsaan Inggris juga singgah di Dobo, yang pada akhirnya mendapatkan “tanah yang dijanjikan” di kepulauan Aru, dengan tulisan yang berjudul “The Malay Archipelago”, yang diterbitkan Oxford Universitas, tahun 1986.
Masyarakat lokal tradisional (masyarakat adat) di Kepulauan Aru (Maluku Tenggara) berperadaban ekosentrisme, tercermin dalam eksploitasi sumberdaya pesisir dan laut sebagai mata-pencaharian utamanya dengan memanfaatkan pengetahuan dan kearifan lokal pada sebuah ekosistem pesisir dan kepulauan.
Pada Musim Timur (Mei – Oktober) mereka bekerja di kebun membuat kanji dari sagu, berburu rusa dan babi hutan di savana atau hutan-hutan, serta mengumpulkan beberapa jenis moluska, kepiting dan teripang.
Pada Musim Barat (November – April) mereka lebih terfokus pada sumber daya laut seperti mengumpulkan teripang di pantai berpasir yang sedang pasang, kadang memancing Hiu. Teripang sejenis binatang laut yang kaya protein dan kalori, jelly-nya dapat dijadikan kosmetik, obat penyakit dalam, sehingga banyak saudagar dari dalam dan luar negeri yang datang berkulak teripang untuk mengisi toko-toko obat dan restoran-restoran internasional di Singapura, Malaysia, Taiwan, Cina, Jepang, dan Korea.
Gesekan yang terjadi antara masyarakat Suku Aru dan para saudagar dari luar inilah yang mengakibatkan unsur-unsur budaya modern materialistis masuk pada masyarakat lokal Aru sehingga budaya mereka bergeser ke arah konsumtif.
Akan terjadi degradasi mutu lingkungan akibat penggunaan teknologi dari pihak-pihak yang mau mencari keuntungan terhadap komunitas lokal Aru. Dalam kegiatan mengumpulkan teripang mereka tidak menggunakan alat apapun tetapi memanfaatkan pengetahuan lokal mengenai kehidupan teripang seperti habitat yang disukainya, bulan apa bereproduksi, pada cuaca bagaimana menampakkan diri dan sebagainya.
Apabila hasil perolehan teripang melebihi kebutuhan untuk dikonsumsi sekeluarga, maka kelebihannya diawetkan dengan teknologi ramah lingkungan. Teripang hasil pengawetan dapat ditukar dengan kebutuhan rumah tangga yang lain. Dalam hal ini tradisi barter masih melekat dengan keseharian Suku Aru.
Ada upaya untuk membudidayakan teripang dengan cara membangun tambak-tambak. Sayang sekali, peradaban ekosentrisme ini telah bergeser dengan masuknya faktor-faktor dari luar. Terutama sekali dibawa oleh saudagar-saudagar dari Taiwan, Cina, Korea, Jepang, Malaysia, dan Singapura yang prosesnya sudah berjalan ratusan tahun. Masyarakat tradisional Aru diiming- imingi produk-produk teknologi yang harus “dibayar” dengan teripang.
Dalam hubungannya dengan kepercayaan terhadap leluhur, masyarakat Aru msih sangat memegang kuat apa yang diajarkan leluhur pada mereka. Terutama hubungan manusia dengan alam, kepercayaan-kepercayaan yang mereka anut merupakan instrumen tangguh dalam menjaga keharmonisan hubungan manusia dengan alam.
Masyarakat Suku Aru percaya bahwa alam dan seluruh isinya adalah mutlak milik para leluhur yang selalu mengawasinya. Dengan pandangan seperti ini, keseimbangan yang secara alami terkandung di alam akan selalu terjaga, karena hal-hal yang merusak seperti eksploitasi yang berlebihan dan yang lainnya dapat terhindar oleh karena adanya kepercayaan bahwa manusia tidak memiliki hak untuk alamnya selain untuk kebutuhan dasar hidupnya.
Sebagai  mediator, masyarakat Aru memiliki Kepala Adat untuk melakukan dialog antara leluhur dengan anak-cucunya. Karena itu setiap akan melakukan kegiatan, didahului dengan upacara dialog. Hasil dialog tersebut berupa kesepakatan-kesepakatan yang harus ditaati, misalnya dalam hal berburu teripang,  ada jenis-jenis tertentu yang hanya boleh diambil pada saat-saat tertentu saja, hanya boleh mengambil teripang yang berukuran besar saja; dan ada masa larangan untuk mengambil teripang, dan sebagainya. Hal ini mengandung pengertian untuk memberi kesempatan alam melakukan regenerasi.
Leluhur, sebagai pemilik alam raya akan murka bila kesepakatannya dilanggar, hal tersebut dimanifestasikan dalam bentuk bencana alam. Hal ini mengandung makna bahwa apabila alam terganggu keseimbangannya, maka alam akan mencari titik keseimbangan baru.
Dalam hubungnnya dengan menjaga keharmonisan antara masyarakat dengan lingkungan hidup, dijumpai adanya sistem pengelolaan sumberdaya alam secara tradisional.
Secara organisasi, ada pembagian tugas di antara masyarakat, laki – laki dewasa melakukan kegiatan yang bersifat di luar rumah dan bersifat keras seperti berburu, menyelam, dan berkebun; wanita dewasa melakukan kegiatan rumah tangga, seperti membuat kanji, memungut teripang di pantai berpasir, dan pengolahan teripang pasca panen; anak perempuan membantu kegiatan ibunya sebagai proses belajar; anak laki-laki mengamati kegiatan ayahnya sebagai proses belajar.
Salah satu hal menarik yang terdapat di Suku Aru adalah teknik pembelajaran atau sistem transfer pengetahuan  yang diwariskan  kepada generasi-generasi mudanya. Para orang tua melakukan pengajaran kepada anak-anaknya dengan mempraktikannya langsung. Anak-anak belajar langsung melalui intuisi yang mereka punya, mereka tidak dijejali berbagai macam teori untuk mengetahui sesuatu, tetapi anak-anak dilibatkan secara langsung. Maka, dari pengalaman-pengalaman yang mereka dapatkan, akan diperoleh pula pengetahuan-pengetahuan yang kelak akan berguna.
Dahulu kala ada tradisi yang unik yang berkaitan dengan penyatuan dengan alam, misalnya: Bayi laki-laki yang baru dilahirkan dilempar ke dalam laut, setleah beberapa menit sang ayah terjun, menyelam mencari anaknya dan dibawanya pulang; Anak laki-laki yang memasuki usia remaja dilepas ke dalam hutan tanpa diberi bekal, apabila ia dapat pulang dengan selamat maka ia disambut dan diakui sebagai laki-laki dewasa.