Suku Ulu (Urang Ulu)
Suku Ulu (Urang Ulu) atau Orang Tanah Hulu, adalah suatu masyarakat adat yang berada di desa Sibinail dan desa Tamiang Mudo kecamatan Muara Sipongi di provinsi Sumatra Utara. Populasi suku Ulu ini diperkirakan sebesar 135 Kepala Keluarga.
Diperkirakan suku Ulu ini telah ada sejak awal abad masehi sekitar abad 2, suku Ulu ini bermukim di hutan pedalaman di wilayah Tapanuli Selatan. Mereka hidup sebagai nomaden, menjelajah di hutan pedalaman, dan tidak menetap pada suatu tempat secara permanen. Dalam perjalanan nomaden mereka, akhirnya mereka menemukan suatu tempat yang cocok untuk dijadikan sebagai lahan pertanian persawahan dan perladangan. Tetapi lama kelamaan setelah mereka menetap dan membangun perkampungan di daerah baru tersebut, pemukiman mereka di perkampungan ini semakin terasa sempit, sementara mereka masih membutuhkan lahan untuk memperluas tanah garapan. Pada masa itu lahan di pemukiman mereka semakin terbatas seiring dengan pertambahaan penduduk. Wilayah pemukiman mereka dianggap tidak mencukupi lagi sumberdaya alamnya, baik persawahan maupun perladangan. Mereka memilih pergi untuk mencari tempat baru untuk dijadikan pemukiman dan lahan pertanian baru. Akhirnya sampailah mereka di suatu tempat dan membuat sebuah perkampungan yang disebut sebagai desa Sibinail di Muara Sipongi.
Pada awalnya di daerah Sibinail ini sudah dihuni oleh 3 suku yang telah lebih dahulu bermukim di wilayah ini, yaitu suku Mondoilig, suku Pungkut dan suku Kamak Kepuh. Dari ketiga turunan suku ini mendiami desa Sibinail pada saat ini, setelah terjadi pembauran antara ketiga suku ini dengan suku Ulu. Desa Sibinail ini dalam perjalanan sejarahnya, awalnya terdiri dari tiga dusun yaitu dusun Sibinail, dusun Ranto Lolo dan dusun Tamiang Mudo. Setelah sekian lama, 3 dusun ini semakin berkembang, lalu digabungkan dan membentuk 2 desa, yaitu desa Sibinail dan desa Tamiang Mudo.
Diperkirakan suku Ulu ini telah ada sejak awal abad masehi sekitar abad 2, suku Ulu ini bermukim di hutan pedalaman di wilayah Tapanuli Selatan. Mereka hidup sebagai nomaden, menjelajah di hutan pedalaman, dan tidak menetap pada suatu tempat secara permanen. Dalam perjalanan nomaden mereka, akhirnya mereka menemukan suatu tempat yang cocok untuk dijadikan sebagai lahan pertanian persawahan dan perladangan. Tetapi lama kelamaan setelah mereka menetap dan membangun perkampungan di daerah baru tersebut, pemukiman mereka di perkampungan ini semakin terasa sempit, sementara mereka masih membutuhkan lahan untuk memperluas tanah garapan. Pada masa itu lahan di pemukiman mereka semakin terbatas seiring dengan pertambahaan penduduk. Wilayah pemukiman mereka dianggap tidak mencukupi lagi sumberdaya alamnya, baik persawahan maupun perladangan. Mereka memilih pergi untuk mencari tempat baru untuk dijadikan pemukiman dan lahan pertanian baru. Akhirnya sampailah mereka di suatu tempat dan membuat sebuah perkampungan yang disebut sebagai desa Sibinail di Muara Sipongi.
Pada awalnya di daerah Sibinail ini sudah dihuni oleh 3 suku yang telah lebih dahulu bermukim di wilayah ini, yaitu suku Mondoilig, suku Pungkut dan suku Kamak Kepuh. Dari ketiga turunan suku ini mendiami desa Sibinail pada saat ini, setelah terjadi pembauran antara ketiga suku ini dengan suku Ulu. Desa Sibinail ini dalam perjalanan sejarahnya, awalnya terdiri dari tiga dusun yaitu dusun Sibinail, dusun Ranto Lolo dan dusun Tamiang Mudo. Setelah sekian lama, 3 dusun ini semakin berkembang, lalu digabungkan dan membentuk 2 desa, yaitu desa Sibinail dan desa Tamiang Mudo.
Pada waktu Perang Paderi yang bergolak pada akhir abad ke-19, sebagian penduduk desa Sibinail dan desa Tamiang Mudo, pindah ke desa lain yang disebut desa Siladang, Di tempat ini mereka bertemu dengan suku Lubu yang telah terlebih dahulu berada di sana. Perpindahan mereka dikabarkan karena menghindar dari pasukan serdadu Paderi. Di tempat baru tersebut mereka berbaur dan terjadi perkawinan campur dengan suku Lubu yang menyebabkan terbentuknya bahasa dan adat-istiadat tersendiri yang disebut sebagai bahasa dan adat-istiadat Siladang yang berbeda dengan bahasa dan adat penduduk di Sibinail. Sedangkan sebagian lain yang bertahan di desa Sibinail dan desa Tamiang Mudo, tetap mempertahankan adat-istiadat asli mereka hingga saat ini, dan tetap memakai identitas diri sebagai suku Ulu atau Orang Ulu.
Bahasa Ulu sendiri berbeda dengan bahasa Batak Mandailing maupun bahasa-bahasa lain yang ada di wilayah Tapanuli Selatan. Apabila diperhatikan bahasa Ulu ini bernuansa Melayu, tetapi lebih tua dari bahasa Melayu nya sendiri, tetapi juga menyerap perbendaharaan kata dari bahasa Mandailing, walaupun terjadi perubahan pada pengucapan bunyi, yang menyesuaikan dengan dialek suku Ulu.
Secara klasifikasi bahasa, bahasa Ulu diklasifikasikan ke dalam rumpun bahasa Malayic (Melayu Purba).
Bahasa Ulu sendiri berbeda dengan bahasa Batak Mandailing maupun bahasa-bahasa lain yang ada di wilayah Tapanuli Selatan. Apabila diperhatikan bahasa Ulu ini bernuansa Melayu, tetapi lebih tua dari bahasa Melayu nya sendiri, tetapi juga menyerap perbendaharaan kata dari bahasa Mandailing, walaupun terjadi perubahan pada pengucapan bunyi, yang menyesuaikan dengan dialek suku Ulu.
Secara klasifikasi bahasa, bahasa Ulu diklasifikasikan ke dalam rumpun bahasa Malayic (Melayu Purba).
Masyarakat suku Ulu saat ini mengandalkan hidup pada bidang pertanian terutama pada persawahan dan perladangan. Selain itu mereka juga banyak menjadi buruh tani.
contoh bahasa Ulu:
contoh bahasa Ulu:
- aengko = kau, engkau
- bulih = boleh
- denga = dengar
- dilihek = dilihat
- dioso = tahu, tau
- dusto = dusta
- elah = sudah
- idenga = didengar
- iko = ini
- indo = tidak
- ingek = ingat
- ke = kan
- kirit = kirim
- kiro-kiro = kira-kira
- ko = ke
- koro = kalau
- liaek = lihat
- lihek = lihat
- minto = minta
- mono = mana
- siopo = siapa
- torus = terus
- urak = orang
0 komentar:
Posting Komentar