Suku Ternate

Suku Ternate merupakan suku bangsa yang berdiam di Pulau Ternate, Provinsi Maluku Utara, dan sekitarnya, dengan populasi sekitar 50.000 jiwa. Bahasa ibu orang Ternate adalah Bahasa Ternate, yang banyak memengaruhi bahasa Melayu Maluku Utara, yakni bahasa persatuan di Maluku Utara. Mata pencaharian orang Ternate, terutama adalah bertani dan melaut (mencari ikan). Komoditas pertanian yang terkenal dari kawasan ini adalah cengkeh, kelapam dan pala. Orang Ternate juga dikenal sebagai pelaut yang ulung. Menurut sensus 2010, 97% suku ternate memeluk Islam, sisanya Kristen Protestan dan sejumlah agama lainnya.
Sejarah Suku Bangsa Ternate
Sebelum masuknya Islam dan berdirinya Kesultanan Ternate, masyarakat Ternate terbagi dalam empat kelompok sosial masyarakat, yakni:
  1. Tubo, penduduk yang mendiami kawasan puncak/lereng sebelah utara  Pulau Ternate
  2. Tobona, penduduk yang mendiami kawasan lereng sebelah selatan, di Foramadiyahi.
  3. Tabanga, penduduk yang berdiam di kawasan pantai bagian utara, dan
  4. Toboleu, penduduk yang menempati kawasan pesisir pantai timur di Ternate.
Keempat kelompok besar masyarakat tersebut terbagi-bagi lagi ke dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil, yang mendiami kawasan yang disebut gam. Penghuni gam umumnya terdiri dari beberapa keluarga/kerabat, yang dalam bahasa setempat disebut sebagai soa (kelompok marga). Setiap soa dipimpin oleh seorang fanyira, dan para kepala soa atau fanyira tersebut dibawah kepemimpinan seorang momole (kepala kampung). Kata “momole” sendiri diambil dari kata “tomole”, yang berarti kesaktian atau kehebatan. Jadi, secara harfiah, “momole” berarti orang yang dipilih sebagai pemimpin karena mempunyai kelebihan kesaktian dalam berbagai hal.
Di antara kelompok-kelompok yang pada waktu itu masih menjalankan sistem pemerintahan yang sederhana tersebut, terkadang terjadi pertentangan demi memperebutkan hegemoni. Setelah masuknya agama Islam, sistem pemerintahan Momole berubah. Keempat momole tersebut, bergabung dan dipimpin oleh seorang “kolano”. Seiring perkembangan dan menguatnya pengaruh Islam terhadap kehidupan sosial masyarakat Ternate, dan wilayah di sekitarnya, yakni Tidore, Bacan, dan Jailolo, berkembang juga pemerintahan-pemerintahan lokal dibawah para kolano.
Dalam perkembangan selanjutnya, keempat kolano yang masing-masing membawahi wilayah Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo, bersepakat untuk bergabung membentuk “konfederasi” persekutuan, yang disebut dengan persatuan “Moloku Kie Raha”. Pada saat penggabungan ini, Ternate dipimpin oleh kolano ke-7 yang bernama Kolano Sida Arif-ma-Lamo, yang dinobatkan pada 1322, dan memerintah selama 9 tahun (1322-1331). Dalam konfederasi ini, sistem pemerintahan di Ternate dan wilayah lainnya semakin disempurnakan.
Pada 1486, pada kepemimpinan kolano ke-19, kolano waktu itu, Zainal Abidin, merupakan pemimpin Ternate yang pertama mengenakan sebutan “Sultan” untuk pemimpin pemerintahan, sekaligus merubah bentuk pemerintahan ke-kolano-an menjadi “kesultanan”. Sultan Zainal Abidin memerintah dari 1486-1500, dan bergelar Paduka Sri Sultan Zainal Abidin.
Dalam struktur kepemimpinan tradisional kesultanan Ternate, terdapat semacam “Dewan Rakyat” yang disebut dengan “Gam Raha”. Gam Raha merupakan dewan dengan empat perwakilan kelompok masyarakat yang menyokong kesultanan Ternate, yakni::
  1. 1.     Soa-Sioyakni komunitas masyarakat yang terdiri dari 9 kelompok Soa/distrik yang berada di di wilayah pusat kesultanan.
  2. 2.      Sangadji, yakni komunitas beberapa distrik di negeri seberang/wilayah taklukkan.
  3. 3.      Heku, yakni komunitas masyarakat Ternate yang wilayahnya mulai dari Ake Santosa (sekarang Kelurahan Saleroke utara hingga ke pulau Hiri termasuk Halmahera Muka.
  4. 4.      Cim, yakni komunitas masyarakat dari Ake Santosa ke salatan hingga mencapai batas desa Kalumata.
Gam Raha berfungsi mensahkan calon sultan. Dalam tradisinya, calon pengganti sultan umumnya adalah anak-anak lelaki putera sultan, tidak hanya yang tertua, tapi semua anak laki-laki sultan punya kesempatan yang sama. Jika dalam garis pertama ini tidak ditemukan, maka bisa bergeser ke anak-anak dari kakak sultan atau anak-anak dari adik sultan (keponakan), bahkan bisa saja langsung lompat ke cucu sultan (sesuai catatan sejarah silsilah para raja-raja di Ternate).  Meskipun telah ditetapkan adat, calon Sultan itu harus disahkan oleh Gam Raha.
Para calon diajukan oleh pihak Soa-Sio dan Sangaji. Selanjutnya apabila calon tersebut ditolak oleh pihak Heku dan Cim, maka harus diganti. Sistem ini merupakan keunikan dan cirri khas “demokrasi” ala Ternate, di mana sistem pemerintahan adalah berbentuk monarki, tetapi pewaris kekuasaan dilakukan melalui pemilihan/penunjukan dariGam Raha, berdasarkan kriteria tertentu.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar