Jalan beraspal yang kanan kirinya ditumbuhi pohon kelapa
akan ditemui bila berjalan ke arah utara melewati ring road barat
Yogyakarta. Melaju mengikuti arah jalan itu, anda akan sampai ke sebuah
dusun bernama Mlangi, tepatnya di sebuah masjid bernama Jami' Mlangi.
Sekeliling masjid itu berupa kompleks pemakaman dengan yang paling
terkenal adalah makam Kyai Nur Iman.
Nama Mlangi tak lepas dari sosok Kyai Nur Iman yang
sebenarnya adalah kerabat Hamengku Buwono I, bernama asli Pangeran
Hangabehi Sandiyo. Kisahnya, Nur Iman yang sudah lama membina pesantren
di Jawa Timur diberi hadiah berupa tanah oleh Hamengku Buwono I. Tanah
itulah yang kemudian dinamai 'mlangi', dari kata bahasa Jawa 'mulangi'
yang berarti mengajar. Dinamai demikian sebab daerah itu kemudian
digunakan untuk mengajar agama Islam.
Masjid Jami' Mlangi adalah bangunan paling legendaris di
dusun ini karena dibangun pada masa Kyai Nur Iman, sekitar tahun
1760-an. Meski telah mengalami renovasi dan beberapa perubahan,
arsitektur aslinya masih dapat dinikmati. Diantaranya adalah gapura
masjid dan dinding sekitar masjid yang didesain seperti bangunan di
daerah Kraton. Di dalam masjid yang oleh warga sekitar disebut "Masjid
Gedhe" itu juga tersimpan sebuah mimbar berwarna putih yang digunakan
sejak Kyai Nur Iman mengajar Islam.
Makam Kyai Nur Iman dapat dijangkau dengan melewati jalan
di sebelah selatan masjid atau melompati sebuah kolam kecil yang ada di
sebelah tempat wudlu. Makam itu terletak di sebuah bangunan seperti
rumah dan dikelilingi cungkup dari bahan kayu. Makam itu selalu ramai
sepanjang tahun, terutama pada tanggal 15 Suro yang merupakan tanggal
wafatnya Kyai Nur Iman dan bulan Ruwah. Hanya pada bulan ramadan saja
makam itu agak sepi. Biasanya, para peziarah membaca surat-surat
Al-Qur'an dengan duduk di samping atau depan cungkup makam.
Berkeliling ke dusun Mlangi, anda akan menjumpai setidaknya
10 pesantren. Diantaranya, sebelah selatan masjid pesantren
As-Salafiyah, sebelah timur Al-Huda, dan sebelah utara Al-Falakiyah.
Pesantren As-Salafiyah merupakan yang paling tua, dibangun sejak 5 Juli
1921 oleh K.H. Masduki. Mulanya, As-Salafiyah bukanlah pesantren, hanya
komunitas yang belajar agama di sebuah mushola kecil. Komunitas itu
lantas berkembang menjadi pesantren karena banyak yang berminat. Meski
bangunannya tak begitu besar, pesantren ini memiliki 300-an santri dan
menggunakan metode mengajar yang tak kalah maju dengan sekolah umum.
Keakraban penduduk dengan Islam bukan sesuatu yang
dibuat-buat. Buktinya dapat dilihat dari cara berpakaian penduduk. Di
Mlangi, para lelaki biasa memakai sarung, baju muslim, dan peci meski
tidak hendak pergi ke masjid. Sementara hampir semua perempuan di dusun
ini mengenakan jilbab di dalam maupun di luar rumah. Pengamalan ajaran
Islam seolah menjadi prioritas bagi warga Mlangi. Konon, warga rela
menjual harta bendanya agar bisa naik haji.
Meski banyak warga punya kesibukan dalam mendalami agama
Islam, tak berarti mereka tidak maju dalam hal duniawi. Dusun Mlangi
sejak lama dikenal sebagai salah satu penghasil tekstil terkemuka, hanya
jenis produknya saja yang berubah sesuai perkembangan jaman. Pada tahun
1920-an, usaha tenun dan batik cetak marak di kampung ini hingga tahun
1965-an. Usaha itu mulai pudar sejak batik sablon menguasai pasar dan
harga kain bahan batik terus meningkat. Akhirnya, hanya tersisa beberapa
pengusaha batik, diantaranya Batik Sultan agung yang juga mulai meredup
akhir 1980-an. Kini, usaha yang sedang berkembang adalah celana batik,
peci, jilbab, net bulutangkis, dan papan karambol.
Setiap Ramadan, dusun ini selalu ramai dengan ritual ibadah
yang dijalankan warganya. Mulai dari tadarus, pengajian anak-anak, dan
sebagainya. Tak sedikit pula masyarakat dari luar Mlangi yang datang
untuk 'wisata' agama, semacam pesantren kilat. Nah, bila anda ingin
berkunjung ke Mlangi, inilah saat yang tepat. Sepanjang siang selama
bulan Ramadhan, anda juga akan melihat betapa akrab anak-anak bermain
petasan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar