Suku Sumba

Suku Sumba berada di Pulau Sumba yang menduduki wilayah Kabupaten Sumba Barat dan Sumba Timur. Berdasarkan cerita yang turun temurun, konon Sumba lahir dari empat pendaratan para leluhur. Menurut Wohangara dan Ratoebandjoe dalam Woha (2008:40) menyatakan bahwa: pendaratan para leluhur itu diatur strategi seakan-akan mau melakukan pengepungan terhadap tana Humba sebagai berikut:
  1. Rombongan I mendarat di Haharu Malai Kataka Linndi Watu
  2. Rombongan II mendarat di La Panda Wai Mananga Bokulu.
  3. Rombongan III mendarat di Wula Waijilu-Hongga Hillimata.
  4. Rombongan IV mendarat di Mbajiku Padua Kambata Kundurawa.

Di Sumba Barat dan Sumba Timur ini mengalami perbedaan keyakinan terhadap adat akibat dari pengaruh moderenisasi. Suku Sumba cukup dikenal sebagai suku yang masih menjaga kuat adat. Namun, di Kabupaten Sumba Timur terjadi pergeseran  terutama kaum mudanya. Beberapa dari mereka sudah mulai terpengaruh dari segi berpakaian dan tidak hanya itu, yang lebih parahnya lagi adalah mereka mulai lupa pada bahasa ibunya sendiri. Ini mejadi keprihatinan pemerintah Sumba terhadap kepercayaan adat mereka. Terlepas dari itu adat budaya suku Sumba masih terjaga sampai hari ini.
Kepercayaan mereka adalah kepercayaan khas daerah Marapu, setengah leluhur, setengah dewa, masih amat hidup ditengah-tengah masyarakat Sumba ash. Mereka menganut paham Dinamisme. Marapu menjadi falsafah dasar bagi berbagai ungkapan budaya Sumba mulai dari upacara-upacara adat, rumah-rumah ibadat (umaratu) rumah-rumah adat dan tata cara rancang bangunnya, ragam-ragam hias ukiran-ukiran dan tekstil sampai dengan pembuatan perangkat busana seperti kain-kain hinggi dan lau serta perlengkapan perhiasan dan senjata.
Di Sumba stratifikasi sosial masih diterapkan. strata sosial antara kaum bangsawan (maramba), pemuka agama (kabisu) dan rakyat jelata (ata) masih berlaku, walaupun tidak setajam dimasa lalu dan jelas juga tidak pula tampak lagi secara nyata pada tata rias dan busananya. Sehingga pakaian pada rakyat Sumba itu mejadi penting karena akan menentukan berada di strata sosial mana ia. Hal ini ditunjukkan oleh kain yang berlembar-lembar menumpuk badan mereka.
Busana pada pria misalnya. Busana pria Sumba terdiri atas bagianbagian penutup kepala, penutup badan dan sejumlah penunjangnya berupa perhiasan dan senjata tajam. Sebagai penutup badan digunakan dua lembar hinggi yaitu hinggi kombu dan hinggi kaworu. Hinggi kombu dipakai pada pinggul dan diperkuat letaknya dengan sebuah ikat pinggang kulit yang lebar. Hinggi kaworu atau kadang-kadang juga hinggi raukadama digunakan sebagai pelengkap. Di kepala dililitkan tiara patang, sejenis penutup kepala dengan lilitan dan ikatan tertentu yang menampilkan jambul. Jambul inilah dapat diletakkan di depan, samping kiri atau samping kanan sesuai dengan maksud perlambang yang ingin dikemukakan. Jambul di depan misalnya melambangkan kebijaksanaan dan kemandirian. Hinggi dan tiara terbuat dari tenunan dalam teknik ikat dan pahikung. Khususnya yang terbuat dengan teknik pahikung disebut tiara pahudu.
Pada wanita pun sama, kain diberi nama sesuai dengan teknik tenunnya dengan warna yang berwarna-warni. Seperti lau kaworu, lau pahudu, lau mutikau dan lau pahudu kiku. Kain-kain tersebut dikenakan sebagai sarung setinggi dada (lau pahudu kiku) dengan bagian bahu tertutup taba huku yang sewarna dengan sarung. Juga perhiasan dan hiasan di kepala mereka.
Masyarakat suku Sumba menganut pola kekerabatan yang patrilineal. Pola kekerabatan dimana ayah atau kakek mereka yang akan menjadi identitas orang-orang suku Sumba.
Suku Sumba merupakan suku yang sangat terbuka dengan adanya perubahan dan system kepemerintahan. Hal ini berdampak positif dan juga negative bagi kebudayaan suku Sumba tersebut. Positifnya bahwa suku Sumba dapat lebih sikenal oleh orang lain, bahkan dibeberapa bagiannya menjadi tempat wisata. Hal ini juga membantu perekonomian masyarakat Sumba sendiri. Tetapi ada juga faktor negatif yang lahir dari keterbukaan dan moderenitas zaman. Beberapa orang-orang muda suku Sumba sebagian sudah mengenal dan hidup bergaya masyarakat moderen pada umumnya. Mulai dari cara berpakaian, berbahasa, dan tentu ini akan memengaruhi pola berpikir, sehingga ditakutkan jika ini terus terjadi akan merusak pola adat yang sudah mengental di suku Sumba.
Perlu adanya perhatian khusus tidak hanya dari pemerintah yang juga telah terus mengupayakan pelestarian budaya dan adat suku Sumba. Hal ini juga perlu diperhatikan oleh masyarakat pada umumnya bahwa menjaga dan memahami betul budaya dan adat lingkungan sendiri adalah hal penting agar terus terjalin keselarasan dalam kehidupan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar